Pergolakan isu perpolitikan di tanah air kian deras mengalir di tahun 2014. Begitu kiranya yang ingin buku ini coba sampaikan—meski sesungguhnya tak ada puncak alias anti-klimaksnya dari tahun ke tahun. Sebab, sampai detik ini pun, dunia politik akan terus gencar melancarkan ‘serangan-demi-serangan’ yang kian terang-terangan tertangkap di mata awam (baca: rakyat). Perebutan kekuasaan seolah menjadi inti dari Pemilihan Umum (Pemilu), baik yang secara terbuka, apalagi tertutup tentu saja. Uniknya, dari sebagian mereka yang memilih diam untuk tidak menanggapi hal ini, ada seorang dosen yang berani bersuara melalui tulisannya yang kritis dan menggubris. Adalah Boyke Pribadi yang kian resah dan gerah menghadapi situasi serta keadaan di lingkungan tinggalnya.
Kendati demikian, ia bukan hanya berkutat pada perbincangan politik semata. Si Pengamat Kehidupan—begitu ia ingin disebut (Hal.165)—ini pun melalui anak batinnya menggumuli seluruh elementer masyarakat seperti: aspek ekonomi, budaya, sosial bahkan agama. Gaduh sendiri adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan sebuah judul buku. Sebab, korelasinya berbanding lurus dengan isi kumpulan esai yang telah disusunnya sepanjang tahun 2014 dan dibagi dalam tiga bab pengertiannya; (1) Gaduh bermakna sebuah keriuhan—yang kemudian dikerucutkan—dalam berbagai dinamika kehidupan sosial-politik-ekonomi; (2) Gaduh dalam pengertian kepemilikan. Baik harta, tahta ataupun jabatan; (3) Gaduh melalui pemahaman yang berasal dari bahasa Jawa, yakni merawat hewan ternak yang belum layak untuk dijual—yang kemudian disimpulkan sebagai arti dari sebuah proses yang menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia—(Hal.viii-ix).
Apa yang abadi di dunia ini? Secara umum, dengan halus kumpulan esai ini menyiratkan jawabannya adalah kepentingan. Tidak ada yang salah dengan kesimpulan itu, hanya saja, sejauh apa kepentingan itu bisa dirasakan oleh banyak orang, bukan hanya dinikmati oleh segelintir kaum elite dan sekelompok manusia saja. Lebih-lebih kepentingan itu menjangkiti sebagian penguasa di negeri ini dan digunakan sebagai sarana orgasme demi menjadi manusia hedonisme. Diperparah lagi hal demikian ditanggapi oleh masyarakat yang terjangkit virus permisifisme. Sikap permisif merupakan sebuah sikap yang terbuka dimana membolehkan apa pun tanpa ada hambatan dari segi norma atau etika yang dianut oleh masyarakat setempat. Artinya, sikap hedon dapat dengan mudah tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat yang permisif—(Hal.47).
Berbeda dari buku-buku kumpulan esai serupa yang sudah terbit lebih dahulu—tanpa bermaksud memukul rata—buku Gaduh karya Alumnus jurusan Fisika dari Universitas Indonesia ini berani keluar dari ‘keteraturan’ yang kadung terseragamkan secara masif. Esai-esai yang ditulisnya disajikan dalam sudut pandang yang anti-mainstream. Penuh kritik sekaligus menggelitik. Jangan heran bila menemukan judul ‘nyeleneh’ dan saru seperti, Kongres; Kongkow-Kongkow Nggak Beres (Hal.50); Opera Sabun (Hal.26), Jika Si Doel Tanpa Mandra (Hal.99), dst. Serta judul yang provokatif dan kontroversial seperti, Indonesia for Sale (Hal.157); Perubahan, Penyerupaan dan Pengupahan (Hal.230), Kemunafikan Politik (Hal.121) dan Presiden itu Harus Mau Menderita (Hal.275), dst.
Penyebutan judul di atas hanya beberapa saja yang ditulis, tentu masih banyak lagi judul yang menggugah rasa penasaran kita untuk membacanya. Meski demikian, Boyke tetap berbicara menurut data dan fakta di lapangan. Bahkan sesekali mengutip ayat Alquran dan Undang-Undang yang berlaku di negara ini untuk memperkuat argumennya. Ditambah suara masyarakat (yang disertai foto wajahnya) dari kalangan bawah sampai kalangan menengah; dari pedagang nasi sampai akademisi.
Dan lagi, bila ditilik dari setiap isi esainya, ia bermaksud ‘mengajak’ para pembaca atau lebih khususnya warga Banten—sebab hampir semua esainya cenderung mengerucut pada keberlangsungan kehidupan dan penghidupan di provinsi Banten—untuk tidak berdiam diri dan nrimo begitu saja dengan setiap kebijakan dan keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Lebih-lebih masyarakat dewasa ini, ‘dipaksa’ untuk memikirkan nasib pemerintah dan bukan sebaliknya seperti di zaman sebelum reformasi, pemerintah yang memikirkan nasib rakyat. Inilah paradoks yang akan berlanjut terjadi di negara yang kita cintai ini—(Hal.07).
Secara tidak langsung, melalui media tulis-menulis, Boyke bersuara. Gaduh adalah suara rakyat. Ia merangkumnya dan mengemukakan pendapat serta buah pikirnya untuk dibagikan kepada khalayak ramai. Dan begitulah sejatinya tujuan dari menulis; mencapai sebuah kesejahteraan pemikiran. Benar kata Dedi Gumelar (Miing), seorang cendekiawan sekaligus politikus, dalam sebuah materinya ketika menjadi pembicara di Launching buku Gaduh, bahwa negara akan mengalami kehancuran bila peradaban dan kebudayaan hilang. Satu di antaranya adalah menulis, yang telah menjadi bagian dari kebudayaan turun-temurun semenjak terbentuknya sebuah peradaban serta agama samawi diturunkan ke muka bumi. Maka cara bersuara yang baik adalah dengan menulis, seperti yang sudah Boyke Pribadi lakukan, untuk keabadian.
Cilegon, 13 Juli 2015
*Resensi ini pernah diikutsertakan dalam lomba resensi September 2015 dan meraih Juara ke-3 dengan hadiah study tour ke Singapore selama 3 hari.