Oleh Aat Surya Safaat*
Delapan anak Palestina dilaporkan tewas akibat pemboman oleh pesawat tempur Israel di utara Gaza pada 15 Mei 2021, sehingga menambah sedikitnya 40 anak yang terbunuh dan lusinan yang terluka di sana karena serangan brutal tentara Zionis sejak menjelang akhir Ramadhan 1442 Hijriyah.
Laporan media massa dari jalur Gaza menyebutkan, usia anak-anak tersebut berkisar antara enam bulan hingga 17 tahun dan lebih dari setengahnya berusia di bawah 10 tahun, sementara di Israel ada dua anak terbunuh sejak eskalasi konflik bersenjata Israel – Palestina dimulai.
Laporan media massa di Timur Tengah juga menunjukkan banyaknya peristiwa yang mengharukan. Di antaranya ada seorang ibu di Jalur Gaza yang bernama Ummi Rami Abu al-Ouf dan putera pertamanya Rami yang menangis sampai air matanya habis.
Ibu tersebut menangis histeris karena kehilangan delapan anggota keluarga (suami dan tujuh anaknya) dalam serangan udara besar-besaran Israel saat mereka tertidur di rumahnya di daerah Gaza pada 16 Mei 2021. Puteranya, Rami, kini menjadi anak semata wayang karena sudah kehilangan semua saudara serta ayahnya.
Sementara itu pada beberapa tayangan video menunjukkan seorang ibu yang ditembak mati dari jarak dekat di depan anak-anaknya oleh tentara Zionis Israel. Sungguh, suatu perbuatan keji yang jauh dari sifat kemanusiaan.
Pemboman dan serangan brutal serta tindak kekerasan lainnya yang dilakukan tentara Israel telah menyebabkan tekanan mental yang berkepanjangan pada hampir satu juta anak yang berada di Jalur Gaza.
Mereka dipastikan merasa takut, cemas, dan sulit tidur, sehingga dikhawatirkan berpengaruh buruk pada kepribadiannya dalam jangka panjang, terlebih di Jalur Gaza sudah tidak ada lagi tempat yang aman untuk berlindung dari serangan dan pemboman yang dilakukan tentara Zionis Israel.
Khusus tentang kepribadikan anak-anak, seorang ahli psiko analisa Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa kepribadian mereka terutama terbentuk saat anak-anak berumur di bawah lima tahun (balita), dan di Palestina terdapat ratusan, bahkan mungkin ribuan anak yang terluka diketahui masih berusia balita.
Sebelumnya tetara Zionis Israel diberitakan menyerang dan melakukan kekerasan terhadap warga Muslim Palestina yang sedang melakukan ibadah di masjid Al-Aqsa sejak menjelang akhir Ramadhan 1442 Hijriyah, bahkan sampai sekarang ini.
Peran Jurnalis
Tidak dapat dipungkiri, warga sipil, khususnya anak-anak Palestina di Jalur Gaza yang padat penduduk saat ini membutuhkan perhatian dunia internasional karena mereka mengalami kekejaman yang terus-menerus dari penjajah Zionis Israel.
Oleh karena itu kini saatnya para jurnalis menggelorakan penyelamatan anak-anak Palestina secara terus-menerus ke dunia internasional sebagaimana dihimbau oleh Aliansi Indonesia Bela Anak Al Quds yang merupakan koalisi beberap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli masalah kemanusiaan di Palestina.
Menurut LSM tersebut, setidaknya dua ribu anak Palestina meninggal dalam dua dekade terakhir, dan sepanjang tahun 2019 saja penjajah Israel telah membunuh 33 anak dan menculik 745 anak Palestina serta menempatkannya di penjara-penjara Israel yang tidak layak huni.
Memang, menghadapi masalah kemanusiaan yang sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan itu media massa di dunia internasional termasuk di Indonesia tidak boleh diam.
Media massa memegang peranan sangat penting dalam menyuarakan dan mengkampanyekan penyelamatan anak-anak Palestina yang sejatinya tidak tahu-menahu urusan politik di Tanah Airnya.
Sementara di sisi lain Palestina itu sendiri adalah satu-satunya negara di dunia yang belum terbebas dari penjajahan sejak pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955.
Bahkan setahun sebelum Indonesia merdeka, pada 6 September 1944, Mufti Besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini memberikan dukungan secara terbuka bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaa Indonesia, Syekh Al-Husaini atas nama bangsa Palestina juga mengakui Kemerdekaan RI sebagaimana dikemukakannya dalam siaran radio berbahasa Arab dari persembunyiannya di Jerman yang kemudian disiarkan media massa secara luas.
Terkait kiprah media massa, Israel juga menyadari arti pentingnya media dimaksud. Belakangan, Pemerintah Israel menunjukkan sikap bermusuhan terhadap media yang menyiarkan atau menayangkan aksi pengeboman yang dilakukan pesawat tempurnya di Jalur Gaza.
Maka, aksi pengeboman yang dilakukan Angkatan Bersenjata Israel dalam serangan pada 14 dan 15 Mei 2021 juga menyasar kantor Al-Jazeera dan Associated Press (AP) serta beberapa kantor media lainnya di jalur Gaza. Aksi brutal tentara Zionis Israel itu mendapat kecaman dari dunia internasional.
Arti penting media massa itu sendiri dalam turut menciptakan perdamaian tidak perlu diragukan. Pada masa lalu Vietnam memenangkan perang melawan Amerika karena adanya pengaruh media massa.
Ketika itu banyak anak muda dari kalangan milter Amerika yang menjadi korban kekejaman perang di Vietnam, sehingga berkat pemberitaan yang meluas kemudian Amerika menghentikan perangnya dengan Vietnam.
Contoh lain, Pemerintah Apartheid di Afrika Selatan juga rontok karena meluasnya pemberitaan terkait kekejaman Pemerintah Kulit Putih terhadap rakyat Afrika Selatan.Aksi pemerintahan Apartheid di negara itu akhirnya terhenti akibat banyaknya kecaman dunia internasional.
Saat ini, ketika melihat aksi brutal tentara Zionis Israel terhadap warga Palestina, kalangan jurnalis juga bisa melakukan hal yang sama untuk menghentikan kekejaman tentara Yahudi terhadap anak-anak Palestina.
Pengaruh media kini sudah mulai terlihat dengan banyaknya kecaman dari dunia internasional terhadap aksi tentara Zionis Israel serta munculnya demo besar-besaran membela Palestina di banyak negara seperti di Afika Selatan, Inggris, Perancis, Australia, Kanada, bahkan di Amerika yang pemerintahnya mendukung Israel.
Media massa juga bisa berperan melakukan “second track diplomacy” untuk mendorong negara-negara besar dan berpengaruh seperti Russia, dan China bahkan Amerika untuk menghentikan kekejaman Israel terhadap anak-anak Palestina.
Demo besar-besaran membela Palestina dan menyelamatkan anak-anak di jalur Gaza tidak bisa dianggap enteng oleh Israel karena dipastikan berpengaruh terhadap kredibilitasnya selaku anggota masyarakat internasional, bahkan bisa berpengaruh negatif terhadap perekonomiannya dalam jangka panjang.
Last but not least, di era digital ini, bukan hanya wartawan, tetapi siapapun dapat memanfaatkan media sosial untuk kepentingan penyelamatan anak-anak Palestina. Kekuatan tulisan di era medsos inisejatinya “lebih dahsyat” dibanding persenjataan artileri, bahkan pesawat tempur sekalipun.
*Penulis Ketua Bidang Luar Negeri SMSI Pusat, Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York periode 1993-1998 serta termasuk pendiri ”Mi’raj Islamic News Agency” (MINA), kantor berita yang menyiarkan berita dalam Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. (*red)